CATATAN BELAJAR RETAIL
BULAN JANUARI 2015
Pada setiap akhir tahun, di satu sisi
retailer disibukan oleh antisipasi lonjakan sales terkait seasonal : Natal & Tahun baru sekaligus menghitung
target pembelian sebagai bagian dari “dealing” antara retailer dengan
principal/supplier atau yang lebih dikenal dengan istilah “trading term” dimana
princilpal/supplier menjanjikan rewards sejumlah nilai tertentu jika retailer
mampu memenuhi target pembelian yang telah disepakati kedua belah pihak.
Biasanya kesibukan ini hanya
melibatkan beberapa department/bagian dari sebuah perusahaan retail. Kalau
boleh saya nyatakan kesibukan tsb di tangani oleh 3 (tiga) department saja
yaitu : Store Operation, Commercial/Merchandising & bagian
Distribusi/Logistic
Tetapi selain hal tsb diatas, beberapa
bagian/department di sebuah perusahaan retailer sedang menjaga Jantung mereka
tetap sehat & berdenyut menunggu sebuah keputusan yang 100% tidak berada
dalam control mereka. Keputusan penting tersebut adalah UMP (upah minimum propinsi,
atau UMSP(upah minimum sektoral propinsi),
atau UMK ( upah minimum Kabupaten/ Kota)
Department HRD pasti disibukan
memantau perkembangan-perkembangan yang terjadi mulai issue yang berkembang,
pergerakan demo buruh & tuntutannya, Reaksi masing2 pemerintah
kota/kabupaten/propinsi terhadap tuntutan buruh melalui berbagai bentuk serikat
pekerja (SP). 5 (lima) tahun belakangan ini issue UMP/UMK/UMSP seakan2 telah
menjadi sebuah agenda tahunan dengan maraknya berbagai elemen serikat pekerja
turun ke jalanan bahkan sampai menutup fasilitas public di negeri ini, dengan
harapan tuntutan mereka akan upah minimum di penuhi oleh pemerintah.
Bagaimana tidak jantungan department
HRD serta pimpinan perusahaan, karena kenaikan UMP/UMK/UMSP dengan apapun lah
dasar perhitungannya baik yang pada awalnya hanya berdasarkan harga 9
(Sembilan) kebutuhan pokok sampai yang di pakai sekarang yang dipakai dasar
tuntutan adalah KHL ( Kebutuhan Hidup Layak). Komponen KHL ini tidak lagi
berdasarkan kepada kebutuhan fisik minimum (KFM). Kata “minimum” ini sejalan
perkembangan teknologi dan perekonomian di tuntut untuk berubah menjadi “
kebutuhan hidup layak”
Nah, pengertian “layak” inilah yang
menjadi sumber perdebatan antara pemerintah dgn serikat pekerja. Difinisi layak
dari sisi layak disini banyak komponennya :
- makanan & minuman
- perumahan
- sandang
- kesehatan & estetika
- aneka kebutuhan lainnya
Apapun keputusan & kesepatan tre
parted antara serikat pekerja, pengusaha yang diwakili apindo dan pemerintah,
maka perusahaan harus selalu siap menghitung berapa besar dampaknya kepada
struktur biaya perusahaan tersebut. Khusus perusahaan retail tentunya menjadi
concern karena sampai saat ini perusahaan retail apapun bentuknya/formatnya
baik minimarket, supermarket maupun hypermarket adalah jenis perusahaan padat
karya yang mempunyai jumlah karyawan dalam jumlah besar dgn struktur leveling
“level bawah” yang bersentuhan langsung dengan keputusan ini hampir mencapai 60
% lebih.
Mari kita berhitung jika dari 125.000
karyawan di sebuah perusahaan retail besar di Negara ini, dan 60% nya adalah
karyawan level bawah yang terkena dampak kepada kenaikan UMP yang naik hamper
40% tahun 2014 ke 2015. Berapa besar karyawan di level atasnya yang “tersundul”
oleh level bawahnya yang harus di “adjust” atau “disesuaikan” untuk
mempertahankan “leveling” perusahaan tetap berjalan dengan baik & benar”. Untuk itulah saya katakana bahwa akhir
tahun adalah bulan dimana department HRD & finance akan mulai terkana sakit
jantung tahunan.
Keputusan pemerintah seberat apapun
tetap harus dijalankan oleh semua perusahaan. Walau ada opsi penundaan karena
ketidakmampuan perusahaan membayar umah minimum propinsi tsb, tentunya akan
tetap terjadi gesekan dengan pihak karyawan.
Saatnya pagi semua perusahaan
khususnya perusahaan retail memikirkan “strategi” atau “ alternative” lain
untuk menyikapi kenaikan biaya gaji karyawan akibat kenaikan UMP ini.
Beberapa alternative umum yang sering
dilakukan oleh perusahaan adalah :
- mengurangi jumlah karyawan secara significant (PHK). è Tentunya ada biaya besar juga yang akan muncul
- memindahkan perusahaan ke daerah yang UMP nya masih rendah. èHal ini tidak dapat dilakukan sama sekali oleh perusahaan retail.
- Menaikan harga jual product ke konsumen è tentunya ini akanberdampak kepada apakah konsumen tetap loyal ke perusahaan retail ini atau tidak, dan tentunya ada resiko penurunan revenue
Sebetulnya ada alternative lain yang
harus di pikirkan oleh perusahaan retail khususnya untuk menyikapi hal ini.
Menurut pemikiran saya (terlepas benar/salah) misalnya :
- Menurunkan jumlah personel dengan menempatkan kualitas personel yang lebih tinggi untuk menangani perkerjaan yang di tinggalkan, dengan memberikan konpensasi lebih tinggi.
- Jika karyawan saat ini adalah : 8 orang untuk menangani pekerjaan rutin dengan biaya sebesar nilai rupiah UMP misalnya 2.9 juta maka biaya yang harus di keluarkan adalah sebesar Rp. 23.2 Juta. Maka dgn menempatkan karyawan yang mempunyai kemampuan lebih dan dengan konpensasi lebih tinggi dapat juga mengurangi beban gaji tsb. Misalnya menjadi 5 orang untuk menangani pekerjaan yang awalnya dilakukan oleh 8 orang dgn konpensasi lebih misalnya @3.3 juta shg total biaya gaji adalah Rp. 16.5 juta. Tentunya dgn seleksi dan control ketat sehingga kualitas pekerjaannya tetap terjaga.
- Atau mengurangi jumlah karyawan dengan meningkatkan penggunaaan teknologi atau perbaikan cara kerja yang berdampak kepada kebutuhan karyawan perusahaan retail terutama yang berada di posisi front liner ( toko ).
i. Perusahaan
retail harus melakukan identifikasi atas semua pekerjaan saat ini
ii. Kemudian
cari alternatif2 lain baik secara proses kerja dan atau penerapan teknologi
yang dapat mengurangi ketergantungan kepada jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan.
iii. Cara
ini sangat efektip untuk kelangsungan bisnis retail secara jangka panjang.
Atau ada ide2 lain yang perlu di pertimbangkan (
what next), gali terus jika tidak ingin struktur biaya perusahaan retail
membengkak hanya dari satu pos biaya yaitu Biaya Gaji
Selamat Belajar & Salam “INS”
24 Januari 2015, disebuah warung makan bernama
Kantin Nyonya ditemani teman diskusi seorang expert Government Relation sebuah
perusahaan Retail.
0 komentar:
Posting Komentar